Kediri - Ibu, sebutan bagi orang yang melahirkan kita. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa saya selalu menyebutkan ibu untuk memanggil mbahku?? Hal pertama yang terasa yaitu wajar-wajar saja, karena hal tersebut sudah saya lalukan selama 20 tahunan, semenjak saya bisa memanggil orang dan semua orang (keluarga-keluargaku) juga memanggil ibu. Lama-kelamaan keadaan itu menjadi rumit, karena pada saat saya mencari ibu (yang melahirkan saya) di rumah ibu (mbahku) menjadi kebingungan untuk memanggil. Pada saat panggil “ibu” mesti ditanya ibu yang mana? Kan menjadi aneh, saya tanya malah ditanya balik, huft cape dech! Lambat laun pertanyaan itu mulai menyeruak jawabannya, meskipun tidak terjawab penuh sesuai keinginan karena jawaban ini hanya prediksiku saja. Heheehe …
Saling sapa merupakan hal biasa dilakukan setiap manusia yang hidup bermasyarakat. Bahkan antar keluarga harus sering dilakukan dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya. Saling panggil antara anak ke ibu dengan sebutan ibu/mama/umi/emes, anak ke bapak dengan sebutan bapak/papa/abah/ebes, dan cucu ke mbah dengan sebutan mbah/nenek/eyang menjadi lumrah dan wajar sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat.
Namun, yang menjadi tak wajar adalah ketika cucu memanggil mbahnya dengan sebutan “ibu”. Hal tersebut menjadi janggal kan? Dan hal itu terjadi pada keluarga saya. Heheehe … Keadaan itu biasa terjadi, karena orang (keluarga-keluargaku) semua memanggil ibu dan pada saat cucunya (seperti saya) memanggil dengan sebutan ibu tidak ada pembenaran (dibiarkan saja), sehingga menjadi kebiasaan untuk memanggil mbahku dengan sebutan “ibu”. PELAJARAN 1: Lingkunganmu membawa dampak pada dirimu. Bila dampak yang ditimbulkan itu positif, tidak masalah untuk dilanjutkan. Kalau dampak yang ditimbulkan negatif dan tidak ada pembenaran, maka hal tersebut akan tertanaman dalam diri kita dan semakin tertanaman jika dilakukan terus-menerus.
Selain itu, setelah diketahui bahwa dalam kenyataannya orang dahulu sering melaksanakan nikah dibawah umur atau istilah sekarang nikah muda. Hal ini menyebabkan umur antara anak dan ibunya tidak terlampau jauh, bahkan pada jaman dulu katanya pada umur 9 tahun sudah menikah dan mempunyai anak satu tahun berikutnya, sehingga jarak antara anak dan ibu hanya selisih 9 tahun. Jadi, antara anak dan ibu seperti teman dekat, (bahkan sahabat). Dan hal serupa terjadi pada anaknya, setelah anaknya berumur 9 tahun, terus menikah dan mempunyai anak 1 tahun berikutnya. Sehingga mbahnya cucu itu masih umur 18 tahun, jadi masih pantas disebut ibu, karena ibunya sendiri seperti sahabat dengan mbahnya, karena kedekatanya itu menjadikan panggilan ibu untuk mbahnya terasa wajar. PELAJARAN 2. Umur yang berdekatan menyebabkan tidak ada pemisah diantara kita, bahkan keluarga. Sehingga keluarga yang umurnya berdekatan dapat memanggil sesusai kehendak kita, sesuai adat yang berlaku.
Heheehe, Kayagnya maksa banget yaa dan ngawur pol PELAJARAN 2 ini. Kalau begitu saya serahkan saja pada para pemirsa yang ada di rumah, warnet, dan sekitarnya untuk memperbaiki PELAJARAN 2 dan memberikan komentar yang pedes, sedang, dan biasa-biasa saja mengenai nasi goring ini (eh, tulisan maksudnya yang aneh ini). Semoga tulisan ini bermanfaat dunia dan akhirat bagi umat seluruh alam semesta. Amin yaa ALLAH. Sekian dari saya, TERIMA KASIH.(/ybp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar